Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia.
Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam
mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang
banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al
Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami menyusun
makalah yang berjudul Filsafat Al Ghazali sebagai kontribusi kecil kami dalam
menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga sebagai bentuk tanggung jawab
kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Filsafat Islam.
Masalah yang kami angkat dalam makalah ini sebagai berikut:
Bagaimana Riwayat
Hidup Al Ghazali?
Apa Saja
Karya-karya yang pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali?
Bagaimanakah
Filsafat Al Ghazali?
Apakah
Pemikiran-pemikiran Al Ghazali Berpengaruh terhadap Masa dan Generasi
Sesudahnya? Jika ya, seperti Apakah Pengaruhnya?
Adapun tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
Mengetahui Riwayat
Hidup Al Ghazali.
Mengetahui
Karya-karya yang pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali.
Mengetahui
Pemikiran-pemikiran Al Ghazali.
Mengetahui
Pengaruh Pemikiran-pemikiran Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya.
Metode yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah
metode Kaji Pustaka.
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali,
lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat
Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1] Nama
Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang, karena
pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil
dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang
banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang
tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia
juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang
bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan
dibimbingnya dengan baik.
Ayahnya menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad
kepada seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang
menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al
Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia
pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di
kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat
dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang
diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam
pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera
dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari
kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan
tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan
sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr
yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai
ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan
ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.[4]
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani
maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan
argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam
dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles
tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan
tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja.
Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab
akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.[5]
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar
biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang
produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[6]
Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan
pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang
dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali
mengecam filsafat para filosof dengan keras.
Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama),
merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan
antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan),
merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali dan merefleksikan
sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan
akhlâq tashawuf.
Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
Al Mustasyfa (yang terpilih).
Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
EmoticonEmoticon