1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi
reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para
filosof, karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk
itu, Al Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al
Farabi dan Ibn Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru
mereka. Menurut Al Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan
dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak
berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Pandangan Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari
tiga masalah pokok, yaitu:
a. Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam
menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk,
yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui
perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba
teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia
mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm,
sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab
gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab
ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan
digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab
musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya.
Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan
dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan
dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan
sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya
saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para
mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang
diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima,
yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits
(berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan
Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan
menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni
(sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya
sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari
dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha
Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha
Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak
Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui
garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan
permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2. Tashawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada
kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan
skeptik.[7] Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai
berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan
siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas… Cahaya yang
dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa
satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al
Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan
Tashawuf.[8] Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam
dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah
Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid
Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang
saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme)
dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya
tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut,
tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq yang dikemukakannya
adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti
membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena
menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya.[9]
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat
persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus
dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia
merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof
lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an
nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an nafs as
sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan
yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang
terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan
keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan
untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi terciptanya
posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya
posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al
mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam
daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan
penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al Ghazali yang
mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa
filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan pokok:
Maksudnya bahwa manusia semampunya meniru keteladanan
sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta
sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya
pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani
serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari
akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya
kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya
adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana
prinsip Islam, Al Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan
sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah,
yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al
Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu
dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala
kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al qalb).[10]
EmoticonEmoticon